Ini ialah Tulisan dari S.M Kartosoewirjo, Imam Negara Islam Indonesia
Sejak mula manusia dilahirkan oleh Allah di dunia, maka sejak itu pula tumbuhlah hubungan ikat-mengikat antara dia dengan ‘alam mumkin sekelilingnya. Maka ‘alam itu menjadi sebab dan jembatan, menjadi syarat perjalanan dan lapang hidup, melakukan pelbagai perjuangan menentukan nasibnya, di kelak kemudian hari.
‘Alam syahadah sekeliling manusia dan
dirinya pribadi itu, sepanjang faham setengahnya kaum ‘Ulama dan Hukama,
dinamakan “dunia”.
“Dunia” yang menjadi syarat hidup dan “dunia” yang menjadi bekal mati.
Syahdan, seorang anak (bayi) lahir di
dunia menghadapi ibunya, yang menyusui dan memelihara dia, dengan
kasih-sayangnya. Menghadapi ayah, yang mencintai dia dan bertanggung
jawab atas didikan dan pelajaran yang harus diberikan kepada anak itu.
Ketemu dengan kakek-nenek, paman-bibi dan sanak kerabat lainnya. Wal
hasil, sejak itulah ia dihidupkan Allah di tengan-tengah “dunia” kecil,
dalam lingkungan keluarga kecil, di kalangan rumah tangga ibu ayahnya.
Jika di anak dipanjangkan umurnya, maka
dengan berkat karunia Ilahy dan pemeliharaan ibu-ayah yang mencintainya
itu, si bayi makin lama makin besar dan subur daan terpisah dari susu
ibunya. Ia dimasukan sekolah, madrasah atau pesantren, menghadapi guru
atau kiayi, yang memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya
sehari-harinya. Dalam pada si anak bersekolah atau “mesantren” itu,
dengan karena tabi’at ‘alam yang terkandung dalam dirinya, maka ia perlu
kepada ‘alam yang lebih luas dan perlu pula kawan yang lebih banyak.
Pada masa itu ia hidup dalam lingkungan “dunia” kanak-kanak, hidup dalam
kalangan keluarga yang agak besar.
Selanjutnya, jika ia keluar dari bangku sekolah atau “pesantren”, lepas dari thalab ‘ilmu
di berbagai-bagai taman pendidikan dan pelajaran, dan bilamana dengan
Kehendak Allah ia mencapai umur dewasa, maka sampailah ia kepada tingkat
“baligh” atau “mukallaf”.
Ialah tingkat manusia, yang menuntut
pertanggung jawaban atas perjalanan dirinya pribadi dan ‘alam
sekelilingnya. Tingkat manusia, yang mendorong dia terjun dalam
lingkungan yang keluarga yang besar dan mulai belajar hidup dalam
“dunia” pergaulan hidup bersamanya, bertolak dari pelabuhan tempat
berteduh dan mengarungi lautan hidup yang amat luas dan dalam itu.
Karena bawaan (chilqah) dirinya,
ia perlu hidup bersuami isteri, perlu menghubungkan tali ikatan rumah
tangganya dengan rumah tangga lainnya, perlu hidup dalam pergaulan
(sosial) dan dalam pencarian rizki (ekonomi). Maka pelajaran hidup yang
mula pertama ini menghendaki ketabahan hati, kesabaran, keinsyafan,
kebulatan niat dan keuletan bekerja, karena pertanggung jawab yang
penuh-penuh atas keselamatan bersama.
Maka keluarga yang lebih besar, yang
merupakan masyarakat itu, bertambah hari makin bertambah meluas. Dari
rumah tangga sendiri menjadi dukuh dan kampung, dari kampung menjadi
desa (Ku), dari desa menjadi Son, Gun, Ken dan Sjuu sampai akhirnya
menjadi Djawa Baroe. Maka keluarga se-Djawa Baroe itu pun hanya
merupakan salah satu bagian kecil dalam lingkungan keluarga se-Asia
Timoer Raya.
Oleh sebab itu, dengan karena kedudukan
dan tempat tinggal, dengan karena peredaran zaman dan pembaruan
masyarakat, maka mau tidak mau tiap-tiap orang dan tiap-tiap golongan
menjadi salah satu anggota dari Keluarga Besar, Keluarga Asia Tomoer
Raya.
Bandingkan dengan ajaran Islam, yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 213 dan surat Yunus ayat 19 !
Maka karena ikatan Keluarga Besar itu,
tiap-tiap bagiannya (yang kecil ataupun yang besar) harus merasa wajib
ikut bekerja, membantu dan menyokong dengan sepenuh-penuhnya keyakinan
dan kesadaran, dalam usaha mengejar dan mencapai Kema’muran Bersama,
dalam lingkungan Asia Timoer Raya. Kema’muran, yang sanggup
menyelamatkan 1.000 juta jiwa manusia, dalam tiap-tiap lapisan dan
keperluannya.
Apakah gerangan kewajiban kita? Agaknya orang menanya.
Maka jawabnya ialah : kewajiban yang
terutama bagi Umat Islam, yang juga menjadi bagian Keluarga Besar itu : ”
Menyokong dan membantu usaha dalam mengikhtiarkan tercapainya
Kema’muran Bersama, disampingnya dan bersama-sama dengan bagian-bagian
Kelurga yang lainnya”.
Tetapi……. sokongan dan bantuan itu tidak
“cuma” merupakan cerita yang menggelora atau dongeng yang mendahsyatkan
dan mengharukan, dan tidak pula cukup dengan “suara halilintar yang
menyambar-nyambar”. Melainkan harus berwujudkan ‘amal yang nyata, ‘amal
yang berharga, ‘amal yang hanya diperuntukan bagi keperluan diri pribadi
atau golongan sendiri saja. Maka pada prakteknya agak sukarlah
membedakan dan memisahkan kedua macam ‘amal itu. Lantaran tidak jarang
kita dapat menyaksikan, orang mengejar “keperluan sendiri” dengan
berselimutkan “keperluan umum”. Sekarang rupanya bukan lagi waktunya,
untuk mempertontonkan “permainan tonil dunia” yang serupa itu, yang
hanya mendidik sifat dan tabiat “munafik” semata-mata.
Kiranya baik juga, satu-dua tamsil
diketengahkan, unutk membandingkan wujud dan sifatnya ‘amal yang boleh
dan yang tidak boleh menjadi sokongan dan bantuan.
Tamsil 1. Si A dan Si B. berkawan,
berjalan bersama-sama dan menuju satu maksud yang sama. Si A adalah
seorang yang kuat, tangkas dan berani, sedang Si B adalah seorang yang
lemah dan malas usaha lagi penakut. Apa akibatnya? Maksudnya mungkin
sampai, usaha mungkin putus di tengah jalan, karena sifat B yang
menghambat dan mencegah tercapainya maksud itu.
Tamsil 2. Si A ingin bekerja bersama-sama
dengan Si B. Tapi si A adalah yang lumpuh, tiada berdaya dan kemauannya
pun amat lembek sehingga seumur hidupnya ia cuma menjadi “sampah
masyarakat”. Walaupun si B besar himmahnya dan bersungguh-sungguh dalam
‘amal perbuatannya, disertai pula dengan tulus dan setia hati yang
penuh, tetapi adanya si A, disamping si B itu tidak pula menambah besar
dan pesatnya perjalanan dan mungkin menjauhkan maksud yang dituju.
Maka adanya si A tersebut tidaklah sekali-kali menyokong dan membantu tercapainya maksud, melainkan sebaliknya.
Hatta, maka dengan gambaran ringkas di
atas cukuplah kiranya bagi kita, bahwa niat dan usaha Umat Islam untuk
memberi sokongan dan bantuan dalam ikhtiar mencapai Kema’muran Bersama,
dalam lingkungan Asia Timoer Raya itu, harus dan wajiblah merupakan
‘amal yang berharga dan yang diharapkan oleh tiap-tiap bagian Keluarga
Besar itu.
Oleh sebab itu, maka pada hemat kita pada
zaman panca-roba ini Umat Islam tidak boleh sekali-kali lemah-hati,
putus asa atau mengurangkan usaha. Malah sebaliknya, harus dan wajiblah
Umat Islam berdiri tegak teguh di belakang garis peperangan yang dahsyat
ini, dan membangunkan suatu “Benteng Islam” yang kuat lagi sentausa, dlohir dan bathinm keluar maupun ke dalam.
Sebab, bila Umat Islam masih juga
merupakan “bangkai yang hidup” atau “sampah masyarakat”, atau sesuatu
yang tidak tentu bentuk, sifat dan wujudnya, laksana “terapung tak
hanyut, terendam tak basah” janganlah diharapkan yang Umat Islam akan
memperoleh penghargaan siapa pun juga.
Sekaranglah waktunya Umat Islam menentukan nasibnya buat Hari Kemudian !
“Jika kayu ia timbul, jika batu ia tenggelam !!!”
Cukuplah tidur nyenyak lebih dari 300 tahun lamanya – lebih dari tidur Ashabul Kahfi – dibawah selimut Fir’aun-Belanda, yang pandai menyanyikan lagu “nina bobo” itu !.
Tumpahkanlah tenaga, fikiran dan harta
kita untuk membimbing dan membentuk “Benteng Islam” itu! Satu “Benteng”
yang diperdirikan atas dasar ikhlas dan suci hati, dan tersimpan rapat
dalam tiap-tiap hati Mu’min dan Muslim! Satu “Benteng” yang mengikat dan
mengeratkan tali persaudaraan (musabahah dan ukhuwwah) antara tiap-tiap
bagian dan lapisan seluruh penduduk Asia Timoer Raya! Satu “Benteng”
yang dibentuk oleh tiap-tiap hamba Allah, yang ingin Muhabbah dan
Taqarub kepada Azza wa Djalla semata-mata!.
Jika Umat Islam sudah sadar, insaf dan
tahu sungguh-sungguh melakukan kewajibanya dalam Agama, Insya Allah
nasib Umat Islam tidak akan memalukan dan memilukan hati, dan akan dapat
menjadikan kekuatan dan ‘amal perbuatan yang berharga dan
membentuk “Dunia Baru”, “Dunia Bahagia” yang mengandung “Kema’muran
Bersama”.
Tahukah kita, bahwa Dunia yang kita injak dan kita hadapi ini menjadi “Jembatan dan Jalan” menuju “Darul Akhirah” kelak?
Sadarkah kita, bahwa ‘amal yang diperbuat semasa hidup di Dunia akan menjadi “Mizan Nasib” nanti di Yaum al Hisab?
Insafkah kita, bahwa perbuatan kita yang
baik (Ihsan) selagi hidup di Dunia menjadi pertanggungan yang istimewa,
bagi mencapai Kemuliaan dan Bahagia, bila telah tiba masanya kita
dimasukan dalam “Alam di balik Qubur” ?
Yakinkah kita, bahwa Iman yang teguh
serta Tauhid yang sentausa dan Islam yang sempurna (‘amal salih) akan
merupakan kunci yang membuka pintu Dar-oel Islam dan Dar-oes-Salam, tempat keselamatan dunia dan akhirat?
Percayakah kita, dengan tiada was-was dan
sjak sedikitpun juga, bahwa Allah swt, akan mencukupi segenap janji-Nya
(Wa’ad dan wa’id), jika kita suka berpegangan teguh dan kuat akan
“janji-janji kita kepada Allah” sejak di ‘alam arwah hingga kini?
Kemudian daripada itu, jika kita telah tahu dan mengerti, sadar dan insyaf, yakin dan percaya, bahwa nasib Umat Islam terletak di tanganya Umat Islam sendiri, Insya
Allah hati kita akan dilapangkan, dan ‘amal kita akan diluaskan oleh
Allah, bagi mensesuaikan diri dengan tuntutan masa dan kehendak zaman,
sehingga tumbuhlah Ummat Baru, Ummat Wasath, Ummat yang terpilih, Umat yang sanggup bekerja bagi keselamatan dunia, terutama lingkungan Keluarga Asia Timoer Raya.
Insya Allah, pertegas dan penjelasan dalam hal ini, akan dihidangkan dalam “Soeara Miai” yang lagi akan terbit.
Mudah-mudahan usaha suci yang sebaik itu
disertai kurnia dan perkenan Ilahy, hingga manfaat dan mashlahat yang
boleh tumbuh daripadanya, meresap dan meliputilah hendaknya segenap Umat
Islam dan seluruh tubuhnya Keluarga Besar, Asia Timoer Raya, jua
adanya.
Amin.